Minggu, 13 Desember 2015

KOTA YANG SUDAH MENERAPKAN 30% WILAYAHNYA UNTUK RUANG TERBUKA HIJAU.



DEFINISI RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) :
RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) adalah area memanjang/jalur , yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. Penyediaan dan pemanfaatan RTH dalam RTRW Kota/RDTR Kota/RTR Kawasan Strategis Kota/RTR Kawasan Perkotaan, dimaksudkan untuk menjamin tersedianya ruang yang cukup bagi:
·         Kawasan konservasi untuk kelestarian hidrologis,
·         Kawasan pengendalian air larian dengan menyediakan kolam retensi,
·         Area pengembangan keanekaragaman hayati,
·         Area penciptaan iklim mikro dan pereduksi polutan di kawasan perkotaan,
·         Tempat rekreasi dan olahraga masyarakat,
·         Tempat pemakaman umum,
·         Pembatas perkembangan kota ke arah yang tidak diharapkan,
·         Pengamanan sumber daya baik alam, buatan maupun historis,
·         Penyediaan RTH yang bersifat privat, melalui pembatasan kepadatan serta kriteria pemanfaatannya;
·         Area mitigasi/evakuasi bencana, dan
·         Ruang penempatan pertandaan (signage) sesuai dengan peraturan perundangan dan tidak mengganggu fungsi utama RTH tersebut.
Menurut Undang-Undang No 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang :
yang dimaksud dengan Ruang Terbuka Hijau adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No 1 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan, dituliskan bahwa ruang terbuka hijau perkotaan adalah bagian dari ruang terbuka suatu kawasan perkotaan yang diisi oleh tumbuhan dan tanaman guna mendukung manfaat : ekologi, sosial, budaya, ekonomi dan estetika.
Selanjutnya disebutkan pula bahwa dalam ruang terbuka hijau pemanfaatannya lebih bersifat pengisian hijau tanaman atau tumbuh-tumbuhan secara alamiah ataupun budidaya tanaman.
Menurut Rahmi (2002), ruang terbuka hijau adalah lahan tidak terbangun yang tertutup oleh tumbuhan. Sedangkan Muchlis (2006) menulis, kawasan terbuka hijau ialah sebuah kawasan yang difungsikan untuk ditanami tumbuh-tumbuhan. Kawasan terbuka hijau dapat berupa taman, hutan kota, trotoar jalan yang ditanami pohon, areal sawah atau perkebunan.

Beberapa karakteristik dari ruang terbuka hijau dapat diuraikan sebagai berikut, yaitu :
1.       Luasan ruang terbuka hijau, menurut Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang disebutkan bahwa RTH minimal harus memiliki luasan 30% dari luas total wilayah, dengan porsi 20% sebagai RTH publik.
2.       Bentuk ruang terbuka hijau, ada dua bentuk RTH yaitu bentuk jalur atau memanjang dan bentuk pulau atau mengelompok. RTH berbentuk jalur biasanya mengikuti pola ruang yang berdampingan, misalnya jalur hijau di pinggir atau di median jalan, jalur hijau di sempadan sungai, jalur hijau sepanjang rel kereta api, jalur hijau dibawah SUTET, dan sabuk hijau kota. Sedangkan RTH yang berbentuk mengelompok seperti taman, hutan kota, tempat pemakaman umum, pengaman bandara, dan kebun raya.
3.       Elemen vegetasi atau tanaman merupakan unsur yang dominan dalam RTH. Vegetasi dapat ditata sedemikian rupa sehingga mampu berfungsi sebagai pembentuk ruang, pengendalian suhu udara, memperbaiki kondisi tanah dan sebagainya. Vegetasi dapat menghadirkan estetika tertentu yang terkesan alamiah dari garis, bentuk, warna, dan tekstur yang ada dari tajuk, daun, batang, cabang, kulit batang, akar, bunga, buah maupun aroma yang ditimbukan dari daun, bunga maupun buahnya. Untuk memaksimalkan fungsi RTH, hendaknya dipilih tanaman berdasarkan beberapa pertimbangan dengan tujuan agar tanaman dapat tumbuh baik dan dapat menanggulangi masalah lingkungan yang muncul. Aspek hortikultural sangat penting dipertimbangkan dalam pemilihan jenis tanaman untuk RTH. Selain itu guna menunjang estetika urban design, pemilihan jenis vegetasi untuk RTH juga harus mempertimbangkan aspek arsitektural dan artistik visual. Beberapa persayaratan bagi vegetasi yang ditujukan untuk RTH adalah :

a) disenangi dan tidak berbahaya bagi warga kota.
b) mampu tumbuh pada lingkungan yang marjinal   (tanah tidak subur, udara dan air yang tercemar).
c) cepat tumbuh dan mempunyai umur yang panjang.
d) perakaran dalam sehingga tidak mudah tumbang.
e) tidak mempunyai akar yang besar di permukaan tanah.
f) dahan dan ranting tidak mudah patah.
g) buah tidak terlalu besar.
h) tahan terhadap pencemar dari kendaraan bermotor dan industri.
     i) dapat menghasilkan O2 dan meningkatkan kualitas lingkungan kota.
j) bibit/benih mudah didapatkan dengan harga yang murah/terjangkau oleh masyarakat.
k) mempunyai bentuk yang indah.
l) kompatibel dengan tanaman lain.
m) serbuk sarinya tidak bersifat alergis.
n) daun, bunga, buah, batang dan percabangannya secara keseluruhan indah/artistik, baik ditinjaudari bentuk, warna, tekstur maupun aromanya.
o) prioritas menggunakan vegetasi endemik/lokal. Jenis tanaman endemik atau jenis tanaman lokal yang memiliki keunggulan tertentu (ekologis, sosial budaya, ekonomi, arsitektural) dalam wilayah kota tersebut menjadi bahan tanaman utama penciri RTH kota tersebut, yang selanjutnya akan dikembangkan guna mempertahankan keanekaragaman hayati wilayahnya dan juga nasional.

·            Fungsi dan Manfaat
  RTH memiliki fungsi sebagai berikut:
  • Fungsi utama (intrinsik) yaitu fungsi ekologis:
memberi jaminan pengadaan RTH menjadi bagian dari sistem sirkulasi udara (paru-paru kota pengatur iklim mikro agar sistem sirkulasi udara dan air secara alami dapat berlangsung lancar:
Ø  sebagai peneduh.
Ø  produsen oksigen.
Ø  penyerap air hujan.
Ø  penyedia habitat satwa;
Ø  penyerap polutan media udara, air dan tanah, serta;
Ø  penahan angin.

  • ·         Fungsi tambahan (ekstrinsik) yaitu:
  •   Fungsi sosial dan budaya:
o   menggambarkan ekspresi budaya lokal.
o   merupakan media komunikasi warga kota.
o   tempat rekreasi; wadah dan objek pendidikan, penelitian, dan pelatihan dalam mempelajari alam. 
  •  Fungsi ekonomi:
o    sumber produk yang bisa dijual, seperti tanaman bunga, buah, daun, sayur mayur.
o   bisa menjadi bagian dari usaha pertanian, perkebunan, kehutanan dan lain-lain. 
  • Fungsi estetika:
o   meningkatkan kenyamanan, memperindah lingkungan kota baik dari skala mikro: halaman rumah, lingkungan permukimam, maupun makro: lansekap kota secara keseluruhan.
o   menstimulasi kreativitas dan produktivitas warga kota.
o   pembentuk faktor keindahan arsitektural.
o   menciptakan suasana serasi dan seimbang antara area terbangun dan tidak terbangun.

Dalam suatu wilayah perkotaan, empat fungsi utama ini dapat dikombinasikan sesuai dengan kebutuhan, kepentingan, dan keberlanjutan kota seperti perlindungan tata air, keseimbangan ekologi dan konservasi hayati.
D. Manfaat RTH
Manfaat RTH berdasarkan fungsinya dibagi atas:

    Manfaat langsung (dalam pengertian cepat dan bersifat tangible), yaitu membentuk keindahan dan kenyamanan (teduh, segar, sejuk) dan mendapatkan bahan-bahan untuk dijual (kayu, daun, bunga, buah);
    Manfaat tidak langsung (berjangka panjang dan bersifat intangible), yaitu pembersih udara yang sangat efektif, pemeliharaan akan kelangsungan persediaan air tanah, pelestarian fungsi lingkungan beserta segala isi flora dan fauna yang ada (konservasi hayati atau keanekaragaman hayati). 
  •     Tipologi RTH 
Tipologi Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah sebagai berikut: 
  •     Fisik : RTH dapat dibedakan menjadi RTH alami berupa habitat liar alami, kawasan lindung dan taman-taman nasional serta RTH non alami atau binaan seperti taman, lapangan olahraga, pemakaman atau jalur-jaur hijau jalan.
  •     Fungsi : RTH dapat berfungsi ekologis, sosial budaya, estetika, dan ekonomi.
  •     Struktur ruang : RTH dapat mengikuti pola ekologis (mengelompok, memanjang, tersebar), maupun pola planologis yang mengikuti hirarki dan struktur ruang perkotaan.
  •     Kepemilikan : RTH dibedakan ke dalam RTH publik dan RTH privat.
  •     Penyediaan RTH 
Penyediaan RTH di Kawasan Perkotaan dapat didasarkan pada:

    Luas wilayah
    Jumlah penduduk
    Kebutuhan fungsi tertentu 
  • Penyediaan RTH Berdasarkan Luas Wilayah
Penyediaan RTH berdasarkan luas wilayah di perkotaan adalah sebagai berikut:

    ruang terbuka hijau di perkotaan terdiri dari RTH Publik dan RTH privat;
    proporsi RTH pada wilayah perkotaan adalah sebesar minimal 30% yang terdiri dari 20% ruang terbuka hijau publik dan 10% terdiri dari ruang terbuka hijau privat;
    apabila luas RTH baik publik maupun privat di kota yang bersangkutan telah memiliki total luas lebih besar dari peraturan atau perundangan yang berlaku, maka proporsi tersebut harus tetap dipertahankan keberadaannya.
    Proporsi 30% merupakan ukuran minimal untuk menjamin keseimbangan ekosistem kota, baik keseimbangan sistem hidrologi dan keseimbangan mikroklimat, maupun sistem ekologis lain yang dapat meningkatkan ketersediaan udara bersih yang diperlukan masyarakat, serta sekaligus dapat meningkatkan nilai estetika kota. 
  • Penyediaan RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk
Untuk menentukan luas RTH berdasarkan jumlah penduduk, dilakukan dengan mengalikan antara jumlah penduduk yang dilayani dengan standar luas RTH per kapita sesuai peraturan yang berlaku.

    250 jiwa : Taman RT, di tengah lingkungan RT
    2500 jiwa : Taman RW, di pusat kegiatan RW
    30.000 jiwa : Taman Kelurahan, dikelompokan dengan sekolah/ pusat kelurahan
    120.000 jiwa : Taman kecamatan, dikelompokan dengan sekolah/ pusat kecamatan
    480.000 jiwa : Taman Kota di Pusat Kota, Hutan Kota (di dalam/kawasan pinggiran), dan Pemakaman (tersebar)

Penyediaan RTH Berdasarkan Kebutuhan Fungsi Tertentu
Fungsi RTH pada kategori ini adalah untuk perlindungan atau pengamanan, sarana dan prasarana misalnya melindungi kelestarian sumber daya alam, pengaman pejalan kaki atau membatasi perkembangan penggunaan lahan agar fungsi utamanya tidak teganggu.
RTH kategori ini meliputi: jalur hijau sempadan rel kereta api, jalur hijau jaringan listrik tegangan tinggi, RTH kawasan perlindungan setempat berupa RTH sempadan sungai, RTH sempadan pantai, dan RTH pengamanan sumber air baku/mata air.
  •     Prosedur Perencanaan
Ketentuan prosedur perencanaan RTH adalah sebagai berikut:

    penyediaan RTH harus disesuaikan dengan peruntukan yang telah ditentukan dalam rencana tata ruang (RTRW Kota/RTR Kawasan Perkotaan/RDTR Kota/RTR Kawasan Strategis Kota/Rencana Induk RTH) yang ditetapkan oleh pemerintah daerah setempat;

    penyediaan dan pemanfaatan RTH publik yang dilaksanakan oleh pemerintah disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku;
    tahapan penyediaan dan pemanfaatan RTH publik meliputi:

    perencanaan;
    pengadaan lahan;
    perancangan teknik;
    pelaksanaan pembangunan RTH;
    pemanfaatan dan pemeliharaan.

    penyediaan dan pemanfaatan RTH privat yang dilaksanakan oleh masyarakattermasuk pengembang disesuaikan dengan ketentuan perijinan pembangunan;
    pemanfaatan RTH untuk penggunaan lain seperti pemasangan reklame (billboard) atau reklame 3 dimensi, harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

    mengikuti peraturan dan ketentuan yang berlaku pada masing-masing  daerah;
    tidak menyebabkan gangguan terhadap pertumbuhan tanaman misalnya menghalangi penyinaran matahari atau pemangkasan tanaman yang dapat merusak keutuhan bentuk tajuknya;
    tidak mengganggu kualitas visual dari dan ke RTH;
    memperhatikan aspek keamanan dan kenyamanan pengguna RTH;
    tidak mengganggu fungsi utama RTH yaitu fungsi sosial, ekologis dan estetis. 
  • KOTA YANG TELAH MENERAPKANNYA
Kota yang sudah menerapkan RTH sebesar 30% dari total luasan wilayahnya adalah kota Balikpapan,Kalimantan Timur.
ANALISIS
Secara administrative luas keseluruhan Kota Balikpapan menurut RTRW tahun 2012-2032 adalah 81.495 Ha yang terdiri dari luas daratan 50.337,57 Ha dan luas lautan 31.164,03 Ha.Pansus DPRD Kota Balikpapan dalam pembahasan revisi RTRW Kota Balikpapan Tahun 2012-2032 atas revisi Perda No. 5 Tahun 2006 tentang RTRW Tahun 2005-2015, mengurai problematika penataan ruang di Kota Balipapan dalam 10 tahun terakhir. Dalam perecanaan tata ruang, pemerintah Kota Balikpapan telah menyempurnakan Perda Kota Balikpapan Nomor 5 Tahun 2006 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Balikpapan tahun 2005 – 2015 menjadi Perda Kota Balikpapan Nomor 12 tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Balikpapan Tahun 2012 – 2032 yang telah ditetapkan tanggal 2 November 2012. Dalam Perda terdapat beberapa komitmen yang menjadi kebijakan untuk tetap dilanjutkan, antara lain :
  •  Pola ruang 52% Kawasan Lindung dan 48% Kawasan Budidaya
    Tidak menyediakan ruang untuk wilayah pertambangan
    Pengembangan kawasan budidaya dengan konsep foresting the city dan green corridor, untuk pengembangan Kawasan Industri Kariangau diarahkan pada green industry yang didukung zero waste dan zero sediment.

Perkembangan kota Balikpapan dalam beberapa tahun terakhir ini sangat pesat. Topografi Balikpapan berbukitbukit dengan kelerengan yang bervariasi, serta jenis tanah pada beberapa kawasan didominasi oleh jenis yang mudah mengalami pergeseran dan erosi. Kondisi ini memerlukan penanganan yang benar dalam pengelolaannya. Kebutuhan akan lahan untuk mencapai visi Balikpapan dapat diwujudkan melalui program-program pembangunan yang berwawasan lingkungan dengan mengikutsertakan seluruh komponen yang ada di kota ini dalam aspek-aspek perencanaan, pelaksanaan dan evaluasinya. Berdasarkan hasil pengumpulan data luas hutan kota di Balikpapan yang secara definitive sudah ditetapkan, saat ini baru mencapai 200 ha yang tersebar di 28 lokasi atau mencapai 0,4 persen dari luas wilayah Kota Balikpapan (503 kilometer persegi).
Dasar dan aspek legal
Kebijakan Pemerintah kota Balikpapan untuk menetapkan beberapa kawasan hutan kota sebagai kawasan yang dilindungi karena sifatnya yang khusus, di antaranya sebagai bagian dari Ruang Terbuka Hijau Kota sejak tahun 1996 sudah ada meskipun dalam
perencanaan, pelaksanaan, pengelolaan dan pengawasannya masih terus dibenahi. Penetapan dua puluh satu kawasan sebagai hutan kota juga berperan sebagai ruang terbuka hijau dari tahun 1996 hingga tahun 2004 oleh Pemerintah Balikpapan melalui beberapa buah Surat Keputusan Walikota.
RTH kota Balikpapan terdiri dari; kawasan Hutan Lindung Sungai Wain, Kebun Raya Balikpapan, Hutan Kota Pertamina dan taman-taman kota serta taman median jalan. Jika ditinjau dari rasio luas lahan yang dibangun dengan RTH, maka Balikpapan memilki persentase di atas nilai standar BLH yang menentukan luas lahan.
Berdasarkan hasil identifikasi terhadap kawasan Nonbudidaya/Lindung dan Ruang Terbuka Hijau yang ada di Kota Balikpapan yaitu 18.821,742 Ha atau 37,396 % dari luas kota Balikpapan (50.330,57 Ha). Untuk memenuhi prosentasi 52% maka arahan pengembangan kawasan non budidaya (RTH ) sebagai berikut menurut Bappeda 2009
Penghargaan yang pernah diraih Kota Balikpapan yang berkaitan dengan lingkungan hidup yaitu penghargaan ASEAN Environment Sustainable City (ESC) dalam acara invitation to the for 3rd ASEAN Environmentally Suistainable Cities Award and The 2nd ASEAN Certificates of Recognition with the following details, yang berlangsung di Loa Plaza Hotel,Laos. Penghargaan ini diterima langsung Wali Kota HM Rizal Effendi,SE di Laos tadi malam. Balikpapan meraih penghargaan ini karena berhasil melakukan penataan lingkungan kota secara berkelanjutan. Terutama terkait dengan clean land, clean water dan clean air. Termasuk inovasi dalam pengelolaan dan pemanfaatan sampah.
Selain itu, yang terakhir baru saja diperoleh Penerapan Inovasi Manajemen Perkotaan (IMP) oleh Pemerintah Kota Balikpapan dalam bidang pengelolaan tata ruang dengan sub bidang penataan ruang terbuka hijau (RTH) meraih prestasi gemilang. Balikpapan menduduki peringkat pertama sebagai kabupaten/kota terbaik se Indonesia  dalam bidang tersebut.
Dan yang terakhir pernah meraih  juara tiga lomba menanam pohon nasional untuk kategori kotamadya di Indonesia.
  • KESIMPULAN
Indahnya kota Balikpapan tak lepas dari jumlah Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang melebihi  standar Badan Lingkungan Hidup (BLH) yakni 42% dari luas kota ini. Sebagai peneduh, RTH memberikan manfaat yang begitu terasa bagi masyarakat kota Balikpapan.
Karena secara umum RTH publik maupun RTH privat, memiliki fungsi utama (intrinsik) yaitu fungsi ekologis, dan fungsi tambahan (ekstrinsik) yaitu fungsi arsitek-tural, sosial, dan fungsi ekonomi. Dalam suatu wilayah perkotaan empat fungsi utama ini dapat dikombinasikan sesuai dengan kebutuhan, kepentingan, dan keberlanjutan kota.
RTH berfungsi ekologis, yang menjamin keberlanjutan suatu wilayah kota secara fisik, harus merupakan satu bentuk RTH yang berlokasi, berukuran, dan berbentuk pasti dalam suatu wilayah kota, seperti RTH untuk per-lindungan sumberdaya penyangga kehidupan manusia dan untuk membangun jejaring habitat hidupan liar. RTH untuk fungsi-fungsi lainnya (sosial, ekonomi, arsitektural) merupakan RTH pendukung dan penambah nilai kualitas lingkungan dan budaya kota tersebut, sehingga dapat berlokasi dan berbentuk sesuai dengan kebutuhan dan kepentingannya, seperti untuk ke-indahan, rekreasi, dan pendukung arsitektur kota.
Manfaat RTH berdasarkan fungsinya dibagi atas manfaat langsung (dalam pengertian cepat dan bersifat tangible) seperti mendapatkan bahan-bahan untuk dijual (kayu, daun, bunga), kenyamanan fisik (teduh, segar), keingin-an dan manfaat tidak langsung (berjangka panjang dan bersifat intangible) seperti perlindungan tata air dan konservasi hayati atau keanekaragaman hayati.
Permasalahan ditekankan pada beberapa aspek penerapan kawasan penataan ruang dengan pola konsep 52 persen terbangun dan 48 persen untuk ruang terbuka hijau (RTH). Konsep ideal ini dilihat dari sudut pandang penataan ruang, perlu disadari bahwa salah satu tujuan pembangunan di Kota Balikpapan, yang hendak dicapai adalah mewujudkan ruang kehidupan yang nyaman, produktif, dan berkelanjutan.
Pembangunan dan pengelolaan RTH wilayah perkotaan harus menjadi substansi yang terakomodasi secara hierarkial dalam perundangan dan peraturan serta pedoman di tingkat nasional dan daerah/kota. Untuk tingkat daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota, permasalahan RTH menjadi bagian organik dalam Ren-cana Tata Ruang Wilayah dan subwilayah yang diperkuat oleh peraturan daerah
  • SUMBER :

 

Jumat, 06 November 2015

Projek Kerjasama pemerintah dan Swasta

Beberapa proyek pemerintah seperti jalan tol, pengelolaan air minum, listrik dan telekomunikasi ditawarkan kepada swasta sebagai proyek kerjasama. Bahkan di tingkat lokal, beberapa daerah melibatkan pihak swasta dalam berbagai proyek infrastruktur mereka.  Misalnya Pemerintah DKI Jakarta dengan Proyek Mass Rapid Transport (MRT), Pengelolaan Air Minum Tirta Nadi di Medan atau rencana pembangunan Pasar Modern Angso Duo di Jambi yang merupakan contoh kerja sama pemerintah daerah dengan pihak swasta berkaitan dengan pembangunan infrastruktur.
Masuknya pihak swasta melalui pola kemitraan dengan pemerintah memiliki beberapa manfaat, diantaranya adalah (partnership, 2011):
  1. Tersedianya alternatif berbagai sumber pembiayaan;
  2. Pelaksanaan penyediaan infrastruktur lebih cepat;
  3. Berkurangnya beban (APBN/APBD) dan risiko pemerintah;
  4. Infrastruktur yang dapat disediakan semakin banyak;
  5. Kinerja layanan masyarakat semakin baik;
  6. Akuntabilitas dapat lebih ditingkatkan;
  7. Swasta menyumbangkan modal, teknologi, dan kemampuan manajerial.
dari berbagai manfaat kerjasama pemerintah dan swasta di atas cukup memberi gambaran mengapa Public Private Partnership dapat menjadi sebuah solusi untuk mengatasi permasalahan pembangunan infrastruktur yang sering terkendala karena masalah pendanaan, teknologi, maupun manajerial. Selanjutnya melalui tulisan ini sedikit akan diulas tentang apa dan bagaimana konsep kerjasama pemerintah dan swasta khususnya dalam penyediaan fasilitas publik serta bagaimana implementasinya di Indonesia.
Kerjasama Pemerintah Swasta (Public Private Partnership/PPP)

Konsep kerjasama pemerintah dan swasta memiliki dimensi yang cukup luas, sehingga berbagai institusi mendefinisikan dengan cara yang berbeda. Meskipun demikian, esensi Public Private Partnership terletak pada kerjasama penyediaan hingga pengoperasian infrastruktur publik yang melibatkan pihak pemerintah dan swasta. Bank Dunia (2012) misalnya, memberikan definisi Public Private Partnership (PPP) sebagai suatu kontrak jangka panjang antara pihak pemerintah dan swasta untuk menyediakan barang dan layanan publik, dimana pihak swasta menanggung resiko secara signifikan dan bertanggungjawab dalam pengelolaan proyek kerjasama.  

Jadi istilah kerjasama pemerintah dan swasta (public private partnership) memiliki  4 (empat) prinsip dasar, yaitu (partnership, 2011) :
  1. Adanya pembagian risiko antara pemerintah dan swasta dengan memberi pengelolaan jenis risiko kepada pihak yang dapat mengelolanya.
  2. Pembagian risiko ini ditetapkan dengan kontrak di antara pihak dimana pihak swasta diikat untuk menyediakan layanan dan pengelolaannya atau kombinasi keduanya .
  3. Pengembalian investasi dibayar melalui pendapatan proyek (revenue) yang dibayar oleh pengguna (user charge).
  4. Kewajiban penyediaan layanan kepada masyarakat tetap pada pemerintah, untuk itu bila swasta tidak dapat memenuhi pelayanan (sesuai kontrak), pemerintah dapat mengambil alih.
Model Public Private Partnership

Kerjasama pemerintah dengan pihak swasta dalam skema public private partnership memiliki berbagai bentuk dan tidak ada satupun model yang persis sama dengan model lainnya. Dalam prakteknya merupakan kombinasi dari fungsi-fungsi berikut :

Design-Build-Finance-Operate (DBFO). Model ini merupakan bentuk paling umum dari PPP. Model ini mengintegrasikan empat fungsi dalam kontrak kemitraan mulai dari perancangan, pembangunan, pembiayaan hingga pengoperasian. Penyediaan infrastruktur publik dibiayai dari penghimpunan dana swasta seperti perbankan dan pasar modal. Penyedia akan membangun, memelihara dan mengoperasikan infrastruktur untuk memenuhi kebutuhan sektor publik. Penyedia akan dibayar sesuai dengan layanan yang diberikan untuk suatu standar kinerja tertentu sesuai kontrak.
Design-Build-Operate (DBO), merupakan salah satu variasi model DBFO. Dalam model ini, pemerintah menyediakan dana untuk perancangan dan pembangunan fasilitas publik. Setelah proyek selesai, fasilitas diserahkan kepada pihak swasta untuk mengoperasikannya dengan biaya pengelolaan ditanggung oleh pihak swasta.
Penerapan di Indonesia
Saat ini kerjasama pemerintah dengan swasta yang populer di Indonesia dengan istilah KPS dilaksanakan dengan berpedoman kepada ketentuan-ketentuan berikut, yaitu :
  1. Peraturan Presiden RI Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur.
  2. Peraturan Presiden RI Nomor 13 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Peraturan Presiden RI Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur.
  3. Peraturan Presiden RI Nomor 56 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden RI Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur.
  4. Peraturan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Nomor 3 Tahun 2012 tentang Panduan Umum Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur.
  5. Peraturan Presiden RI Nomor 66 Tahun 2013 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 Tentang Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur.
Tahapan Pelaksanaan Proyek Kerjasama Pemerintah dan Swasta

  • Perencanaan Proyek, meliputi kegiatan identifikasi dan pemilihan Proyek dan Penetapan Prioritas Proyek Kerjasama.
  • Penyiapan Proyek, meliputi kajian awal prastudi kelayakan (Outline Business Case) dan kajian kesiapan proyek kerjasama (Project Readness).
  • Transaksi Proyek, meliputi penyelesaian prastudi kelayakan, dan pelelangan umum badan usaha dan.
  • Manajemen Pelaksanaan Proyek yang meliputi perencanaan manajemen pelaksanaan perjanjian kerjasama dan implementasi manajemen pelaksanaan perjanjian kerjasama
    Proses Pembangunan & Pelaksanaan KPS 
  • Tinjauan singkat Proses Pengembangan dan Pelaksanaan KPS
  • Pemilihan Proyek 
  • Konsultasi Publik 
  • Studi Kelayakan
  • Tinjauan Risiko
  • Bentuk Kerjasama
  • Dukungan Pemerintah
  • Pengadaan
  • Pelaksanaan Proyek 
  • Pemantauan

Tujuan pemantauan proyek KPS adalah:•Memastikan operasi proyek sesuai dengan pera turan-peraturan•Memastikan bahwa hasil pelaksanaan telahsesuai dengan PK, khususnya sebagaimanadiperlukan untuk penyesuaian tarif •Menangani berbagai macam perubahan danatau masalah yang mungkin muncul. Ini meru-pakan hal yang penting karena PK untuk proyek-proyek KPS pada umumnya memiliki jangkawaktu yang lama, sehingga biasanya diukur perdasawarsa bukan per tahun.•Antisipasi pengalihan aset kembali kepada Pemerintah (jika ada).

Contoh Kerjasama Pemerintah dan Swasta

PEMBIAYAAN INVESTASI SEBAGAI UPAYA MEMPERCEPAT PENYELENGGARAAN
INFRASTRUKTUR BERKELANJUTAN
PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero)
 
Pembiayaan Investasi Proyek Kerjasama Pemerintah-Swasta Oleh PT Sarana Multi
Infrastruktur (Persero) Sebagai Institusi Pembiayaan Non Bank Komersial Di Indonesia
Untuk mencapai target menjadi negara maju dan menjadi salah satu kekuatan dunia pada tahun 2030, Indonesia memerlukan pertumbuhan ekonomi tinggi yang berkelanjutan dan berdaya saing. Guna merealisasikan hal tersebut salah satu prasyarat yang diperlukan adalah dukungan infrastruktur yang baik. Mempertimbangkan kondisi infrastruktur yang ada saat ini, percepatan pembangunan infrastruktur sangat dibutuhkan. Ketersediaan infrastruktur yang baik akan mempercepat gerak pembangunan ekonomi dan meningkatkan daya saing.

Saat ini investasi untuk pembangunan infrastruktur sangat besar yaitu Rp1.786 Triliun. Alokasi anggaran Pemerintah untuk pembangunan infrastruktur sangatlah terbatas. Gap yang masih harus diisi sangat significant yaitu sebesar Rp1.457 Triliun. 
Guna mengisi gap tersebut, Pemerintah mengajak pihak swasta untuk turut berpartisipasi dalam pembangunan infrastruktur di Indonesia dengan mengembangkan skema Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS). 

Dalam upaya mempercepat pembangunan infrastruktur dengan skema KPS, diperlukan persiapan proyek yang memadai, pendanaan yang sesuai dengan karakteristik investasi proyek infrastruktur, serta dukungan dan jaminan Pemerintah. Saat ini lembaga pembiayaan yang ada, seperti perbankan maupun lembaga keuangan bukan bank, belum secara optimal memberikan kontribusinya terhadap pendanaan proyek-proyek infrastruktur. Oleh karena itu diperlukan lembaga keuangan yang bisa memfasilitasi pembiayaan infrastruktur dengan memberikan tenor pembiayaan jangka panjang dan suku bunga tetap. Hal ini sangat diperlukan mengingat proyekproyek infrastruktur memerlukan tingkat pengembalian investasi dalam jangka waktu yang cukup panjang.

Hingga saat ini sumber-sumber dana jangka panjang seperti Dana Pensiun, Asuransi, dan Reksadana masih diinvestasikan pada instrumen pasar modal yang tidak terkait langsung dengan pembiayaan infrastruktur. Dengan kehadiran lembaga pembiayaan yang khusus menangani pembiayaan infrastruktur, diharapkan akan terjadi memobilisasi sumber dana jangka panjang untuk mendorong investasi dalam proyek-proyek infrastruktur di Indonesia. Peran lembaga pembiayaan infrastruktur sangat krusial karena akan menjadi katalis yang menjembatani sumber dana jangka panjang dengan investasi dalam proyek-proyek infrastruktur di Indonesia.

Salah satu misi yang ingin dicapai Pemerintah di dalam membentuk lembaga pembiayaan infrastruktur seperti PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero) (PT SMI) dan PT Indonesia Infrastructure Finance (IIF) adalah menjadi katalis percepatan pembangunan infrastruktur nasional dengan menarik dana-dana swasta baik dari dalam maupun luar negeri untuk membantu pembangunan infrastruktur Indonesia.

Lingkup Dan Pengembangan Layanan PT SMI
1) Kerangka Kerja
 Sebagai perpanjangan tangan Pemerintah dalam meningkatkan pertumbuhan pembangunan infrastruktur di Indonesia, maka Perseroan memiliki peranan sebagai fasilitator dan katalisator bagi Pemilik Proyek dan Pemberi Dana/Investor dengan kerangka kerja sebagaimana dimuat dalam bagan di bawah ini.
 Terkait dengan perannya selaku fasilitator dan katalisator, maka Perseroan akan bekerjasama dengan pihak-pihak terkait, seperti regulator, pemilik proyek dan investor untuk meningkatkan kapasitas pembiayaan pembangunan infrastruktur sebagaimana bagan di bawah ini:
Peran sebagai fasilitator dan katalisator ini dapat dipenuhi apabila Perseroan memperoleh dukungan dari Pemerintah, adanya kesamaan tujuan dari para stakeholders, penyesuaian/dukungan regulasi yang kondusif bagi pemilik proyek maupun investor untuk mendorong percepatan pembangunan infrastruktur, kesiapan proyek-proyek yang layak untuk dibiayai serta adanya koordinasi antar instansi terkait.

2) Model Bisnis
Dalam menjalankan fungsinya sebagai katalis pembiayaan infrastruktur di Indonesia Perseroan mengembangkan skema-skema kerja sama dengan pihak-pihak pemberi dana lainnya dari dalam maupun luar negeri seperti Pemerintah Pusat dan Daerah, investor swasta, sektor perbankan, dana investasi, dan institusi pendanaan internasional. Ada tiga skema model kerjasama bisnis (business model) yang telah dikembangkan seperti tergambar dan diuraikan sebagai berikut :





a. Business Model A
Perseroan secara bersama-sama dengan co-investor/financier melakukan coinvestment/ financing langsung kepada proyek infrastruktur. Model bisnis ini secara umum akan cocok untuk ditawarkan kepada calon co-investor/financier lokal dan untuk nilai pembiayaan yang relatif kecil. Karena fleksibilitas dan kesederhanaan struktur pembiayaannya, model ini juga cocok digunakan untuk melayani kebutuhan pembiayaan yang relatif cepat. Tipe pengembalian tergantung pada tipe pembiayaan yang diberikan (pinjaman atau penyertaan modal).

b. Business Model B
Perseroan secara bersama-sama dengan co-investor/financier melakukan coinvestment/ financing kepada proyek infrastruktur secara tidak langsung. Sebelum membiayai proyek Perseroan dan co-investor/financier membentuk sebuah Joint Venture Company (JV) dengan menyetujui penyertaan modal yang akan diberikan kepada JV tersebut. Selanjutnya JV tersebut dapat melakukan pembiayaan secara langsung kepada proyek infrastruktur. Model ini dikembangkan terutama untuk melayani permintaan calon-calon co-investor/financier asing maupun untuk melayani kebutuhan pembiayaan proyek yang relatif besar. Menimbang kompleksitas proses untuk mencapai pembiayaan kepada proyek sehingga membutuhkan persiapan dan waktu yang relatif lama, oleh karena itu model ini lebih cocok untuk digunakan sebagai media pembiayaan yang sifatnya berulang atau multi project. Tipe pengembalian kepada JV tergantung pada tipe pembiayaan yang diberikan (pinjaman atau penyertaan modal).

c. Business Model C
Selain kedua model di atas, Perseroan juga mengembangkan model ketiga untuk mengakomodasi penyaluran hutang (loan channeling) untuk membiayai proyek melalui Perseroan. Model ini banyak digunakan oleh lembaga publik asing maupun multilateral yang mempunyai skema pembiayaan bunga rendah namun khusus untuk kegiatan tertentu (misalnya suatu sektor infrastruktur tertentu). Tipe pengembalian kepada Perseroan tergantung pada tipe pembiayaan yang diberikan (pinjaman atau penyertaan modal).
Selain ketiga business model di atas, Perseroan menawarkan kesempatan kepada calon investor untuk mendiskusikan bentuk kerjasama lain yang paling sesuai bagi calon investor tersebut.

3) Jenis Pembiayaan
Perseroan mempunyai beberapa jenis pembiayaan yang dapat digunakan sesuai dengan kebutuhan:
a. Pinjaman Senior:
Pinjaman kepada proyek-proyek infrastruktur di mana Perseroan bertindak sebagai pemberi pinjaman utama (senior) terhadap proyek.
b. Pinjaman Subordinasi/Mezzanine:
Pinjaman kepada proyek-proyek infrastruktur di mana Perseroan bertindak sebagai pemberi pinjaman yunior terhadap proyek.
c. Pinjaman Convertible:
Skema pembiayaan dengan skenario konversi menjadi saham pada saat jatuh tempo.
d. Investasi Ekuitas:
Investasi langsung ke proyek-proyek infrastruktur melalui kepemilikan saham
e. Pembiayaan Kontrak:
Pinjaman modal kerja kepada para kontraktor yang mengerjakan proyek-proyek infrastruktur. Pembayaran pinjaman berdasarkan kontrak dari pemilik proyek.
f. Pembiayaan Invoice:
Pinjaman modal kerja kepada para kontraktor yang mengerjakan proyek-proyek infrastruktur. Pembayaran pinjaman berdasarkan piutang proyek.

4) Sinergi di Dalam Kerjasama Pemerintah Swasta
Unsur-unsur di dalam KPS akan bersinergi di dalam pelaksanaannya sebagaimana terlihat di dalam bagan berikut :
Badan Usaha yang terpilih akan menandatangani perjanjian konsesi dengan GCA dan perjanjian penjaminan dengan PII yang didukung dengan perjanjian regresi antara PII dan GCA. Selanjutnya, Badan Usaha tersebut dapat menjalin kerjasamam dengan membuat perjanjian pembiayaan dengan PT SMI maupun dengan sumber-sumber pendanaan/ pemodal lainnya.

5) Proses Persetujuan Pembiayaan
Kriteria yang digunakan oleh Perseroan dalam menseleksi proyek-proyek yang akan diberikan pembiayaan adalah sebagai berikut:
1. Memenuhi kriteria kegiatan pembangunan infrastruktur sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Presiden No. 9/2009 dan Peraturan Menteri Keuangan No. 100/PMK.010/2009
2. Calon perusahaan yang memperoleh pembiayaan memenuhi profil yang memadai (character,capital, capacity, collateral, condition of economy)
3. Proyek memiliki feasibility yang memadai baik dari aspek yuridis, teknis, organisasi/ manajemen, keuangan, sosial, dan lingkungan.
Selanjutnya PT SMI akan melakukan evaluasi risiko sesuai dengan parameter risiko yang telah disepakati, penajaman prioritas pembiayaan serta melakukan mitigasi risiko termasuk diantaranya adalah melakukan risk sharing dengan cara mengupayakan co-financing dengan calon penyedia dana lain.

Terobosan Yang Pernah Dan Akan Diterapkan Oleh PT SMI Dalam Pembiayaan Investasi KPS Di Indonesia.
Dari portofolio pembiayaan yang dimiliki PT SMI hingga tahun 2010, sektor ketenagalistrikan menempati urutan pertama dalam menyerap komitmen pembiayaan di PT SMI dengan porsi sebesar 57%, sedangkan sektor minyak dan gas bumi serta transportasi menjadi yang terkecil dengan porsi sebesar masing-masing 2%. 
Sektor ketenagalistrikan menjadi sektor terbesar yang menyerap dikarenakan investor ketanagalistrikan relatif lebih siap untuk pembiayaan, baik dari sisi pemenuhan persyaratan maupun persiapan proyek yang akan dibiayai.
 
Berikut ini gambaran persentase komitmen pembiayaan yang telah diberikan oleh Perseroan berdasarkan sektor:
Tingginya penyerapan di sektor ketenaga listrikan di sebabkan oleh banyaknya proyek proyek yang sedang dikembangkan dengan pola KPS namun tidak masuk dalam Blue Book Bappenas. Proyek-proyek tersebut terdiri dari beberapa proyek skala kecil dan menengah KetenagalistrikanPelabuhan  yang mana pembiayaan oleh PT SMI dapat dieksekusi dengan relatif lebih cepat dengan kondisi sbb:
• Skema Independent Power Producer ( IPP) di sektor listrik dengan single-credible buyer (PLN) dan harga yang pasti (minihydro) sangat menarik investor
• Dengan skala kecil risiko relatif lebih mampu termitigasi
• Tidak berhak memperoleh penjaminan dari PT PII

Dengan kondisi diatas PT SMI melengkapi mitigasi risiko dengan kolateral maupun exit strategy yang kuat PT SMI telah memulai dan menjadi pelopor pembiayaan kepada proyek skala kecil di sektor ketenagalistrikan, yang mana perbankan belum berminat untuk menyalurkan pembiayaan mereka kepada proyek skala kecil tersebut.

Pada periode 2010, PT SMI telah berhasil melakukan pembiayaan investasi untuk pertamakalinya kepada proyek Pembangkit Listrik Tenaga Gasifikasi Batubara yang terletak di Kabupaten Melak Kalimantan Timur dan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di Kecamatan Pakkat Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara. Pembiayaan tersebut merupakan bentuk dukungan PT SMI terhadap Pemerintah (PLN) dalam menurunkan biaya produksi lebih rendah daripada pembangkit listrik berbahan bakar solar. Biaya produksi listrik lebih rendah karena proyek ini merupakan proyek renewable energi.

Beberapa Proyek swasta yang menjadi portofolio pembiayaan PT SMI saat ini di sektor ketenaga listrikan adalah sebagai berikut:
a. PLTA Mobuya yang berlokasi di Kabupaten Bolaang Mangondow (Sulawesi Utara) dan PLTGB Melak di Kabupaten Melak Kalimantan Timur.
b. PLTM Pakkat di Pakkat Kabupaten Humbang Hasundutan Sumatra Utara.
c. PLTM Lubuk Gadang di Lubuk Gadang Sumatra Barat.
d. PLTM Situmulya di Kabupaten Lebak Banten 

Dalam rangka mempercepat proses pembiayaan dan perkuatan struktur permodalan calon debitur PT SMI berusaha bekerjasama dengan institusi international lain seperti:

a. Industrial Decisions Inc. (IDI) dari Jepang terkait minatnya untuk melakukan investasi komplementer terhadap pembiayaan Perseroan di sektor energi terbarukan. Produk pembiayaan IDI adalah berbasis investasi ekuitas. IDI telah berpartisipasi dalam pembiayaan proyek PLTM Lubuk Gadang di mana IDI berperan sebagai mezzanine investor, sementara PT SMI berperan sebagai senior creditor.
b. Bank ANZ terkait dengan minatnya untuk melakukan Investasi pembiayaan pada sektor Oil & Gas. Saat ini dalam proses finalisasi pembiayaan bersama berbentuk club deal untuk pembiayaan perusahaan Oil & Gas yang memiliki usaha di Jawa tengah.

Beberapa Contoh Pola Pembiyaan Proyek KPS Yang Pernah Dilakukan PT SMI
1) Pembiayaan Langsung Oleh PT SMI 
a. Proyek Pengembangan Penyediaan Air di Jakarta.

PT SMI telah memberikan pembiayaan untuk pendanaan proyek Rehabilitasi, Penambahan dan Pengadaan Saluran Air Minum dalam bentuk pembiayaan belanja modal (capex) kepada sebuah  perusahaan penyedia jasa air bersih bagi area industri, area bisnis maupun pemukiman penduduk dengan wilayah operasional meliputi Jakarta Timur, sebagian Jakarta Pusat dan Jakarta Utara. Perusahaan tersebut mendapat konsesi untuk melakukan usaha selama 25 tahun berdasarkan Perjanjian Kerjasama dengan Perusahaan Daerah Air Minum DKI Jakarta (PAM Jaya). Kerjasama ini berlaku efektif sejak tanggal 1 Februari 1998 hingga tanggal 31 Januari 2023.
b. Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di Sulawesi Utara dan Proyek Pembangkit 
Listrik Tenaga Gasifikasi Batubara (PLTGB) di Kalimantan Timur
Proyek Mobuya Kapasitas 3x1 MW yang berlokasi di desa Mobuya Kecamatan Passi Timur Kabupaten Bolaang Mangondow (Sulawesi Utara) dan PLTGB Melak 6MW di Kabupaten Melak Kalimantan Timur. PT SMI telah memberikan fasilitas pembiayaan untuk refinancing PLTA Mobuya dan pembiayaan Investasi untuk PLTGB Melak di Kutai Barat Kalimantan Timur. Pembiayaan ini menjadi satu paket dimana kelebihan pendapatan PLTA Mobuya menjamin pembayaran PLTGB Melak pada tahap awal pembiayaan.
PLTGB Melak merupakan Pembangkit Listrik Tenaga Gasifikasi Batubara pertama yang terletak di Kabupaten Melak Kalimantan Timur. PLTGB merupakan pembangkit yang ramah lingkungan (Clean Energy)
c. Pembangkit Listrik Tenaga Mini Hydro (PLTM) di Sumateran Utara .
PLTM Pakkat merupakan Pembangkit Listrik Tenaga Minihydro. PT SMI telah memberikan komitment fasilitas pembiayaan Investasi. Pembangunan Proyek ini dilatarbelakangi oleh sering terjadinya pemadaman listrik secara bergiliran di Provinsi Sumatera Utara yang disebabkan pertumbuhan ekonomi yang pesat yang belum diimbangi peningkatan daya listrik

d. Pembangkit Listrik Tenaga Mini Hydro di Sumatera Barat.
PLTM Lubuk Gadang, Kapasitas 8 MW , berlokasi di Sungai Batang Sangir, Desa Teluk Air Putih, Kecamatan Sangir, Kabupaten Solok Selatan, Sumatera Barat. Merupakan Pembangkit Listrik Tenaga Mini hydro. PT SMI telah memberikan fasilitas pembayaan Investasi. Proyek akan menghasilkan fasilitas pembangkitan listrik yang mengkonversi tenaga air yang mengalir di sungai menjadi listrik.

e. Pembangkit Listrik Tenaga Mini Hydro di Banten.


PLTM Situmulya, Kapasitas 2x1 MW berlokasi Sungai Situmulya, Kabupaten Lebak, Banten Proyek merupakan Pembangkit Listrik Tenaga Minihidro.PT SMI telah memberikan komitmen Pembiayaan Investasi. Proyek akan menghasilkan fasilitas pembangkitan listrik yang mengkonversi tenaga air yang mengalir di sungai menjadi listrik.

2) Penugasan Fasilitasi Penyiapan Proyek Show Case KPS
Berdasarkan Nota Kesepahaman antara Menteri Keuangan, Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, dan Kepala BKPM tentang Koordinasi Fasilitasi dan Pemberian Dukungan Pelaksanaan Percepatan Realisasi Proyek Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur yang ditandatangani pada tanggal 18 Agustus 2010, salah satu tugas Menteri Keuangan adalah memfasilitasi penyiapan proyek Kerjasama Pemerintah dan Swasta (KPS) terkait dengan dukungan dan jaminan pemerintah dimulai dari tahap pelaksanaan (executing) melalui Lembaga Pembiayaan Infrastruktur (PT SMI).

Selanjutnya melalui Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 126/KMK.01/2011 tertanggal 2 Mei 2011 tentang Penugasan Kepada Perusahaan Perseroan PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero) untuk Fasilitasi Penyiapan Proyek Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha, Pemerintah telah menetapkan bahwa Proyek Sistem Penyediaan Air Minum Umbulan (Proyek SPAM Umbulan) dan Proyek Kereta Api Bandara Soekarno Hatta – Manggarai (Proyek KA Bandara) sebagai proyek KPS Infrastruktur yang akan di fasilitasi penyiapannya oleh PT SMI.

Fasilitasi tersebut bertujuan untuk membantu Penanggung Jawab Proyek Kerjasama (PJPK) dalam mempersiapkan proyek KPS dimulai dari tahap persiapan hingga tahap transaksi proyek yang meliputi kegiatan: (i) Pendampingan terhadap PJPK Proyek KPS; (ii) Penyusunan pra-studi kelayakan Proyek KPS sesuai dengan Perpres KPS, Panduan KPS Umum, dan Panduan KPS Sektor; (iii) Penjajakan minat investor (market sounding); (iv) Penyiapan dokumen pelelangan umum sesuai dengan Perpres KPS, Panduan KPS Umum, dan Panduan KPS Sektor SPAM; (v) Asistensi pelaksanaan pelelangan; dan (vi) Dukungan untuk tercapainya Perolehan Pembiayaan (Financial Close).

Kapasitas PT SMI Dalam Membiayai Proyek KPS Untuk Minimal 5 Tahun Kedepan.
Total project cost yang termasuk dalam pipeline pembiayaan PT SMI sampai dengan saat ini (2011) adalah sebesar Rp57,513 Triliun. Project tersebut meliputi sektor-sektor ketenagalistrikan, transportasi, jalan, telekomunikasi, air minum, air limbah dan minyak dan gas bumi. Berikut gambaran dari pipeline tersebut berdasarkan nilai proyek.

Selanjutnya, PT SMI akan melakukan pembiayaan infrastruktur dan pengembangan KPS bagi
 
pembangunan infrastruktur nasional serta untuk bermitra dengan sumber pembiayaan lain baik yang berasal dari swasta nasional maupun internasional
 Guna menghimpun dana pembiayaan infrastruktur yang lebih besar PT SMI menggandeng sejumlah institusi multilateral untuk mendirikan anak perusahaan PT Indonesia Infrastruktur Finance (PT IIF), dengan menyediakan dana Rp600 Miliar berbentuk setoran modal kepada PT IIF. Saat ini PT IIF memiliki komitmen modal dari para Pendiri sebesar Rp1,6 Triliun serta dukungan loan Rp2 Triliun dari World Bank dan ADB dengan tenor 25 Tahun. Dengan terbentuknya PT IIF ini, diharapkan PT SMI bisa lebih fleksibel dalam bekerjasama dengan investor sehingga pertumbuhannnya lebih cepat.
Di masa mendatang PT SMI berencana memasuki pasar modal untuk memperoleh tambahan sumber dana, baik dalam bentuk penerbitan Obligasi, kerjasama pembentukan funds berbasis infrastruktur atau pun sekuritisasi portofolio aset infrastruktur.

sumber :

 
 










ID LINE: k-awan

 
biz.